Selasa, 30 Mei 2017

Al munqdz Min Adlolaal 1

[1]*

SIAPA SANG PENYELAMAT ITU?

Imam Al-Ghazali dengan mantap menamakan kitabnya “Sang Penyelamat dari Kesesatan”. Tapi benarkah, ditinjau dari satu sisi dan sisi yang lain, kitab ini layak dinamai demikian? Setidaknya ada tiga alasan untuk mengetahui kepada siapa label “Sang Penyelamat” itu ditujukan: Pertama, Sang penyelamat itu adalah Al-Ghazali. Kedua, Sang penyelamat itu adalah kitab itu sendiri. Ketiga, Sang penyelamat itu adalah jalan tasawuf yang menjadi pelabuhan terakhir Al-Ghazali setelah pencarian panjangnya.

Ketiga-tiganya memiliki alasan yang sama-sama kuat untuk dijadikan pijakan mana yang lebih sesuai. Saya pernah membaca salah satu Caping (catatan pinggir) GM yang membahas tentang Al-Ghazali. Di sana ia mengatakan bahwa Sang Penyelamat itu tak lain adalah Al-Ghazali itu sendiri. Tapi agaknya kita perlu menyelam lebih dalam untuk mengambil kesimpulan. Alasan pertama kuat karena menurut adatnya Ulama dahulu, atau bahkan sekarang, dalam menulis kitab, adalah dengan mengunggulkan adakalanya: (1) ilmu yang dibahas dalam kitab itu; (2) nilai lebih kitab yang ia karang. Dari alasan ini, agaknya tidak berlebihan jika Sang Penyelamat itu dinisbatkan kepada Al-Ghazali, pengarang kitab itu.

Alasan kedua juga tak kalah kuat. Kitab-kitab Ulama salaf diberi nama tidak sembarangan dan asal-asalan. Ketika memilih nama kitab, mereka benar-benar selektif dan sudah mempertimbangkannya matang-matang. Boleh jadi, dalam memberi nama kitab ini, Al-Ghazali tabarukan dengan metode al-Quran dalam menyebut kitab Tuhan itu. Al-Quran disebut dengan beberapa sebutan: Al-Furqon, Al-Nur, Al-Huda, dll. Dengan kata lain, penyematan kata “Sang Penyelamat” untuk nama kitab, mengindikasikan keinginan Al-Ghazali agar kitab yang ia karang benar-benar jadi penyelamat untuk mereka yang membacanya.

Alasan ketiga juga masuk dalam daftar. Ialah jalan atau cara yang ditempuh Al-Ghazali setelah pencarian yang seolah tanpa ujung. Dalam kitab ini, Al-Ghazali menceritakan dengan sangat dramatis bagaimana dirinya meragukan semua disiplin ilmu untuk memuaskan dahaga intelektual dan intuisinya. Nanti akan diceritakan bagaimana Al-Ghazali mempelajari teologi, filsafat, batiniyyah, dan akhirnya tasawuf. Penyandaran “Sang Penyelamat” untuk jalan Tasawuf yang akhirnya ia tempuh juga cukup kuat untuk dijadikan dalil bahwa Al-Munqidz di sini adalah tasawuf yang menjadi pelabuhan terakhirnya.

Karena ketiga alasan ini sama-sama kuat, saya tidak berani membenarkan satu di antara ketiganya. Lebih baik kita mengakui ketiganya sebagai yang berpotensi benar. Dan paling tidak kita sudah menggali alasan masing-masing dari penisbatan “Sang Penyelamat” itu. Dan dengan demikian, kita akan teruskan pembahasan kita dengan legowo.

KENAPA KITAB INI DITULIS?

Kitab ini ditulis Al-Ghazali karena ada permintaan dari orang, boleh jadi adalah muridnya, untuk membeberkan apa yang Al-Ghazali tempuh dari pencariannya atas ‘batas’ ilmu dan rahasia-rahasianya beserta pembawa ilmu yang menjelma menjadi mazhab-mazhab tertentu. Pertama-tama, Al-Ghazali mempelajari Ilmu Kalam, kemudian Bathiniyyah—atau dalam bahasa lain Ta’limiyyah, kemudian filsafat, kemudian tasawuf, dan berakhirlah ia di sana.

Dalam catatan Abdurrahman Badawi, kitab “Al-Munqidz min Al-Dhalal” masuk ke dalam kitab yang disepakati kebenarannya sebagai kitabnya Al-Ghazali. Nama lengkap kitab ini adalah “Al-Munqidz min wa Al-Mufassih an Al-Ahwal” (المنقذ من الضلال والمفصح عن الأحوال). Jika melihat isi dari kitab ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa kitab ini merupakan kitab yang ia karang di masa terakhir hidupnya. Imam Al-Ghazali berusia relatif pendek, yakni 55 tahun (450-505 H.). Diceritakan bahwa ia sudah menjadi Dosen di Madrasah Nizamiyyah milik Nizamul Mulk, sejak umur 34 tahun. Baru sekitar 4 tahun mengajar dan mendapatkan posisi yang mulia dan harta yang begitu melimpah, ia memutuskan untuk berhenti dan memulai perjalanan ruhaninya dari satu tempat ke tempat yang lain. Semua itu ia ceritakan dalam kitab ini. Berarti, kitab ini ia karang setelah ia melewati masa-masa pencarian dan kembali ke kampung halamannya dengan hati dan pikiran yang bersih dari pengaruh dunia.

Tak disangka, Al-Ghazali begitu berani menuturkan kisahnya mulai dari ia muda, menjadi dosen di Nizamiyyah, sampai perjalanannya mencari kebenaran. Inilah otobiografi Ulama Islam yang paling fenomenal. Kitab ini seolah ingin menunjukkan bahwa tak ada siapapun, baik Ulama dan apalagi orang awam, yang bisa lepas dari nafsu duniawi. Karir akademik yang begitu sempurna dan kecerdasan serta kematangan berpikir yang membikin orang berdecak kagum, ternyata bukan kehidupan yang bisa memuaskan batin tiap orang. Al-Ghazali-lah saksinya. Ia-lah Ulama yang mengajarkan Ulama untuk mengajari orang awam, dan ia-lah Ulama yang mengajari orang awam untuk menjadi kekasih Tuhan yang derajatnya bisa mengungguli Ulama yang telah mengajarinya.

Secara halus Al-Ghazali mengkritik Ulama yang masih mengejar prestis dalam menyebarkan ilmu, tidak ikhlas karena Allah, dan membangga-banggakan keilmuannya. Bahkan di salah satu kitab, atau risalah, ia menerangkan betapa siapapun ia dan dari manapun ia, tak akan bisa lepas dari godaan setan. Risalah itu berjudul “Al-Kasyfu wa Al-Tabyin fi Ghurur Al-Khalq Al-Ajma’in” yang membahas dengan gamblang bahwa seorang Ulama pun punya cobaannya masing-masing yang tak kasat dan sering menjerumuskan. Dengan demikian, praktis bisa dikatakan bahwa siapapun Ulama yang tak mengenal Al-Ghazali dan membaca kitabnya, masih dipertanyakan ke-Ulama-annya: ya, adakalanya ia Ulama yang tergoda nafsu dunia tanpa ia sadari, atau adakalanya ia Ulama yang sadar akan godaan dunia tapi terlanjur dengan santai menikmati fasilitas dunia. Dalam perkara ini, kitabnya Ihya’ Ulum Al-Din bisa dirujuk.

AWAL SEMULA

Al-Ghazali membuka ceritanya dengan memaparkan firah manusia yang berbeda-beda. Tapi dengan satu sifat: Laut yang Dalam (bahrun ‘amiqun) yang siap menenggelamkan siapapun. Manusia satu sama lain berbeda agama. Jika pun mereka satu agama, mereka juga bisa berbeda Mazhab atau aliran. Jika pun mereka satu Mazhab, mereka juga bisa berbeda organisasi, dan seterusnya. Semua ini menurut Al-Ghazali adalah laut yang menenggelamkan, meskipun tidak dipungkiri bahwa perbedaan itu sudah digariskan oleh Tuhan dan bahkan sudah diperingatkan oleh Nabi Muhammad dalam sabdanya: “Umatku akan terpecah-belah menjadi 27 kelompok...”

Al-Ghazali hidup dengan rasa ingin tahu yang tinggi, yang bakal mengantarkannya pada “petualangan” intelektual yang tidak dialami siapapun dalam dunia Islam. Ia bercerita bahwa sebelum ia berusia 20 tahun, sampai ia berusia 50 tahun, ia selalu mencari apa itu kebenaran. Ia mengarungi “laut yang dalam” itu untuk membuktikan mana yang paling benar. Ia berkata: “Dan kuperiksa akidah semua golongan, kusingkap rahasia-rahasia mazhab dari semua kelompok, untuk membedakan mana yang benar dan mana yang batil.” Dan benar, nantinya, ia akan menceritakan secara detil mazahab-mazhab apa yang ia pelajari dan ia telanjangi untuk ia bedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Yang menarik diperbincangkan di sini adalah bagaimana Al-Ghazali mengomentari fenomena “agama sebagai warisan” seperti yang akhir-akhir ini viral setelah dibahas oleh Afi Nihaya melalui status facebooknya. Al-Ghazali tidak menampik bahwa orang yang lahir di lingkungan Kristen, praktis akan menjadi kristen, dan orang yang lahir di lingkungan Islam akan tumbuh menjadi Muslim. Dengan semangat yang menggebu, Al-Ghazali ingin menggali fitrah paling priordial dari diri manusia. Ia mengutip hadis Nabi yang berbunyi: “Setiap bayi lahir dalam keadaan suci...” Dan fitrah/kesucian inilah yang ingin diburu Al-Ghazali: adakah di sana, selain fanatisme mazhab dan godaan nafsu yang menjerumuskan, sifat manusia yang bisa dibedakan mana yang warisan dan hanya taklid, dan mana yang itu adalah potensi terberi tiap manusia untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Untuk sampai ke sana, Al-Ghazali harus menyelam ke dalam intisari tiap mazahab, untuk memisahkan mana fanatisme buta dan mana ‘lubuk hati’ yang bisa dimasuki kebenaran yang tanpa syak-wasangka. Tak lain dan tak bukan, Al-Ghazali ingin mengetahui dan sekaligus menujukkan mana ilmu yang available: yakni, ilmu yang mana objeknya bisa disingkap sehingga tidak menyisakan sedikit pun keraguan (la yabqa ma’ahu raibun). Dan tepat di sinilah Al-Ghazali memijakkan langkah. Ia memberi satu pijakan yang kuat sebelum ia menjelaskan mazhab-mazhab yang pernah ia pelajari, yakni: “Ilmu yang tidak membikin hati tenang, maka ia bukan ilmu yang bisa dipercaya.” (Bersambung...)*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar