Minggu, 27 Januari 2019

Cerita Nuaiman konyol

KISAH LAWAKAN SAHABAT NU'AIMAN & SENYUM 'SANTAI' RASULULLAH ﷺ

Adalah Nu’aiman bin Amr Al-Anshary seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang terkenal suka melawak dan jail. Ia adalah sahabat dari kalangan Anshar. Meski wataknya yang suka melucu, Nu’aiman juga seorang mujahid sejati Islam. Ia merupakan Ashabul Badr karena ikut terlibat dalam Perang Badar bersama Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang lainnya.

Namanya memang  tidak setenar Nasruddin Hoja atau Abu Nawas, namun gaya bercanda Nu’aiman banyak membuat lelucon atau tingkah konyol -bahkan kejahilan- hingga membuat Rasulullah ﷺ dan para sahabat lainnya tidak kuat menahan tawa. Yang menjadi target kejahilannya tidak hanya sahabat, tapi juga Rasulullah ﷺ.

Lantas bagaimana sikap Rasulullah ﷺ terhadap sahabatnya yang suka melawak -bahkan jahil- seperti Nu’aiman tersebut? Apakah Rasulullah ﷺ pernah marah dengan sikap usil Nu’aiman? Ataukah Rasulullah ﷺ menganggapnya biasa saja? Lalu bagaimana kalau ada sahabat yang tersinggung dengan keusilan Nu’aiman, bagaimana Rasulullah ﷺ ‘meredam’ hal itu?

Dari beberapa kisah tentang Nu’aiman ini, kita bisa menarik kesimpulan tentang sikap Rasulullah ﷺ terhadap Nu’aiman.

Pertama, Memakluminya.
Pada umumnya Rasulullah ﷺ dan para sahabat maklum tentang karakter Nu’aiman yang suka melucu. Rasulullah ﷺ juga biasa saja ketika menjadi sasaran kejahilan Nu’aiman dalam membuat lelucon. Selama tingkah polah Nu’aiman tidak melanggar ajaran agama Islam, mungkin selama itu pula akan dimaklumi.

Kedua, Melarang sahabat lain mencela Nu’aiman.
Tidak semua orang suka dan maklum dengan tingkah Nu’aiman yang jahil dan usil seperti itu. Pasti ada saja pihak-pihak yang jengkel dan tidak suka dengan tingkah laku Nu’aiman. Terkait hal ini, Rasulullah ﷺ sudah memberikan rambu-rambu. Rasulullah ﷺ melarang para sahabatnya untuk mencela Nu’aiman,

"لا تفعل فإنه يحب الله ورسوله"

“Jangan lakukan itu (mencela Nu’aiman) karena dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”

Berikut adalah diantara kisah-kisah Nu’aiman :

Kisah Pertama, Nu’aiman mengerjai Makhrumah dan Sayyiduna Utsman.
Alkisah, ada seorang kakek bernama Makhrumah bin Naufal telah mencapai usia 115 tahun, dimana matanya tidak dapat melihat. Suatu hari dia berdiri di salah satu sudut masjid dan hendak kencing, para sahabat terkejut dan berteriak, “Masjiid..! Masjiiiid...!"

Nu’aiman bin ‘Amr lalu menuntunnya dengan tangannya, kemudian ia membungkuk dengan membawa orang itu di bagian lain dari masjid.
Setelah itu Nu’aiman berkata kepadanya, “Kencinglah disini,” Nu'aiman lalu bergegas pergi... Makhrumah bin Naufal bersiap untuk buang air, para sahabat yang melihat Makhrumah hendak kencing, dimana posisinya masih didalam masjid berteriak lagi Masjiiid..! Masjiiid...!

Makhrumah terkejut dan berkata, “Celaka! Siapakah yang membawaku ke tempat ini?” Para sahabat menjawab, “Nu’aiman.” Makhrumah berkata, “Sungguh jika aku beruntung aku akan memukulnya dengan tongkatku!”

Maka berita itu sampai pada Nu’aiman, lalu Nu’aiman menunggu beberapa hari, kemudian datang kepada Makhrumah di masjid, dan berkata kepada Makhrumah dengan suara yang diubah, “Apakah kamu menginginkan Nu’aiman? “
Makhrumah menjawab, “Ya,” maka Nu’aiman menuntunnya sehingga berhenti di belakang khalifah Utsman bin Affan (yang sedang shalat), lalu Nu’aiman berkata. “Di depanmu itu Nu’aiman.”
Maka Makhrumah memukulkan tongkat itu kepada Utsman sehingga Sayyiduna Utsman pingsan... sementara Nu’aiman melarikan diri...

Kisah kedua, Nu'aiman menghadiahi Rasulullah ﷺ Madu.
Diceritakan bahwa suatu hari Nu’aiman ingin menghadiahi Rasulullah ﷺ seguci madu. Namun karena ia tidak memiliki uang, maka akhirnya Nu’aiman menyuruh penjual madu untuk menghantarkan madunya kepada Rasulullah ﷺ, sebagai hadiah kepada Rasulullah ﷺ.

“Nanti kamu minta juga uang harganya,” kata Nu’aiman kepada penjual madu.

Saat bertemu Rasulullah ﷺ, penjual madu tersebut mengatakan sebagaimana yang diminta Nu’aiman. Rasulullah ﷺ memberikan sejumlah uang kepada penjual madu itu. Jadilah Rasulullah ﷺ mendapatkan hadiah madu, sekaligus tagihan harganya.
Setelah kejadian itu, Rasulullah ﷺ memanggil Nu’aiman. Beliau menanyakan mengapa Nu’aiman melakukan hal itu.

“Saya ingin berbuat baik kepada Anda ya Rasulullah ﷺ, tapi saya tidak punya apa-apa,” jawab Nu’aiman sehingga membuat Rasulullah ﷺ tersenyum.

Kisah ketiga, Nabi ﷺ mengganti kerugian akibat kejahilan Nu’aiman.
Tidak hanya memaklumi Nu’aiman, bahkan Rasulullah ﷺ mengganti kerugian akibat kejahilan yang dilakukan sahabatnya itu. Selain cerita di atas, ada satu kejadian yang membuat Rasulullah ﷺ mengganti apa yang telah diperbuat Nu’aiman. Meski demikian, Rasulullah ﷺ tidak marah. Bahkan beliau tersenyum karena apa yang dilakukan Nu’aiman memang ‘menggelitik.’
Ceritanya, suatu ketika para sahabat berkata kepada Nu’aiman bahwa sudah lama tidak makan daging unta. Mereka lantas memiliki ide untuk menyembelih unta seseorang yang tengah bertamu kepada Rasulullah ﷺ. Nu’aiman langsung saja menyambut ide tersebut. Unta tamu Rasulullah ﷺ tersebut akhirnya jadi disembelih Nu’aiman.
Tamu Rasulullah ﷺ yang mengetahui untanya disembelih tersebut langsung mengadu kepada Rasulullah ﷺ. Setelah ditanya, para sahabat yang memiliki ide makan daging unta tersebut menjawab bahwa yang melakukan itu adalah Nu’aiman. Salah seorang dari mereka lalu menunjukkan kepada Rasulullah ﷺ dan tamunya tempat persembunyian Nu’aiman. Saat ditanya Rasulullah ﷺ mengapa melakukan itu, jawaban Nu’aiman malah membuat Rasulullah ﷺ tersenyum.
“Tanyakan saja kepada orang yang menunjukkan kepadamu tempat persembunyianku,” jawab Nu’aiman. Rasulullah ﷺ lalu memberikan ganti rugi kepada pemilik unta tersebut dengan jumlah yang lebih dari pada cukup.

Kisah keempat, Nu’aiman dikabarkan sakit mata, dan Nabi pun ﷺ menengoknya.
Namun apa yang terjadi saat Nabi ﷺ menjenguknya? Ternyata Nu’aiman sedang asyik makan kurma. “Apa boleh makan kurma, matamu kan sedang sakit?” tanya Nabi ﷺ. Dengan santai Nu’aiman menjawab, “Saya mengunyah dari arah mata yang tidak sakit, Nabi.” Konon, jawaban tersebut membuat Nabi ﷺ tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya.

Kisah kelima, Saat Nu’aiman berangkat bersama Abu Bakar ke Bashrah untuk berniaga.
Bersama mereka ikut pula Suwaibith, yang bertugas membawa perbekalan. Nu’aiman meminta kepada Suwaibith agar diberi makanan, tapi ditolaknya karena bos mereka sedang tidak di tempat. “Tunggulah sampai Abu Bakar datang,” katanya. Nu’aiman jengkel, lalu mengeluarkan ‘ancaman’, “Tunggu pembalasanku!”

Nu’aiman lantas menemui beberapa orang, menawarkan budaknya dengan harga sangat murah, sambil membocorkan kelemahannya, yaitu budaknya sering mengaku dirinya seorang merdeka. Yang ditawari setuju, lalu bersama Nu’aiman mereka menuju ke tempat Suwaibith duduk. Nu’aiman menunjuk kepadanya. Tentu saja Suwaibith berontak sambil mengatakan dirinya bukan budak. Tapi si pembeli berkeras mengikatnya dan berkata, “Kami sudah paham sifatmu.” Untung Abu Bakar segera datang dan urusan jadi gamblang.
Ketika peristiwa tersebut diceritakan kepada Nabi ﷺ, beliau tertawa, bahkan sepanjang tahun setiap beliau ingat atau diingatkan. Nu’aiman adalah pembawa kegembiraan. Mungkin karena itu, Nabi ﷺ pernah berkata,

"يدخل الجنة وهو يضحك"

“Nu’aiman akan masuk surga sambil tertawa, karena ia sering membuatku tertawa.”

S a h a b a t . . .
Cerita-cerita tentang Nu’aiman diatas menyegarkan ingatan kita bahwa Nabi ﷺ adalah pribadi yang ceria, suka tertawa, bercanda, dan tidak melulu bersikap resmi. Beliau biasa bersenda gurau dengan para sahabat dan istri-istrinya. Sayangnya, riwayat-riwayat tentang sisi manusiawi yang humoris ini jarang diedarkan. Nabi ﷺ dihadirkan sebagai sosok yang lurus, kaku, dan hanya suka memberikan perintah atau gemar melarang-larang saja.
Minimnya cerita semacam itu barangkali ikut bertangung jawab atas meruyaknya sikap keberagamaan yang rigid. Sebagai umat Nabi ﷺ, kita berhasrat meneladaninya secara penuh. Kita meninggalkan sesuatu yang dibenci Nabi ﷺ dan berusaha menyukai apa saja yang Beliau ﷺ senangi. Apa saja, mulai warna pakaian, jenis makanan, cara makan, cara berobat, berjalan, sampai posisi tidur. Tapi kita sering melupakan sikap lapang dada dan humorisnya. Jadilah kita sedikit-sedikit merasa dihina, dilecehkan, lalu murka dan teriak-teriak. Padahal jika Nabi ﷺ bersikap demikian, tentulah seorang Nu’aiman akan segan bertingkah konyol kepada beliau ﷺ.

Semoga kisah-kisah ini menjadi "jobb segarr" dan bermanfaat untuk kita semua...

#AAMIIN...
#SHALLÛALANNABIMUHAMMAD...

اللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ نُورِكَ السَّارِي وَمَدَدِكَ الجَارِي واجْمَعْنِي بِهِ فِي كُلِّ أَطْوَارِي وَعَلىَ آلِهِ وصَحْبِهِ يَانُورْ

📚 Sumber :
- Ihyã' 'Ulumuddîn, Kitãbu Ãfãtil Lisãn-bab An-Nahyu 'Anil Li'ãn, juz 3 hal. 121.
- Al-Sirah Al-Halabiyyah juz 2 hal. 375.
- Al-Istî'ãb Fî Ma'rifatil 'Ashhãb juz 1 hal. 848.
- Al-Wãfî Bil Wãfiyãt juz 7 hal. 346.
- Al-Ishãbah juz 5 cetakan Dãr Al-Fikri
- Ibn Sa'd Fî Ath-Thabaqãt juz 3 hal. 494.

Ijazah terhindar zina

"Mumpung anak masih kecil, jangan sampai salah seperti saya ya.
Anak pertama usia 22 thn hafal 18 juz.
Anak kedua dan ketiga semua hafidz dan hafidzah.
Tuntas 30 juz.
Tapi ...
saya sedih karena untuk sholat saja mereka masih diingatkan dan disuruh. Saya menangis saat saya baru sadar bahwa ada yg terlewat kala itu.

***
Fitrah keimanan (dibahas saat workshop) yg harusnya ditanam di 7 tahun pertama hidupnya ternyata lupa saya kawal lebih ketat dan belum tuntas. Dan sekarang kami harus "restart" dari awal untuk mengulang proses yg terlewat".
Hmm,,, Jazakumullah khairan katsira nasehat berharganya pak,
Satu hal lagi yg saya dapat saat mengikuti worshop home education based fitrah and tallent di semarang bbrp waktu lalu bersama ust harry.
Didiklah anak sesuai fitrah.
Fitrah apa?
Ada bbrp fitrah.
Diantaranya fitrah iman, fitrah belajar, fitrah bakat dan fitrah seksualitas.
Fitrah seksualitas?
Wow, , ,
gimana itu?

***
Mendidik anak sesuai fitrah seksualitas artinya mengenalkan anak bagaimana bersikap, berpikir, dan merasa seperti gendernya.
Jika ia anak perempuan, maka kita bangkitkan fitrah seksulitasnya sbg perempuan.
Jika ia laki2, maka kita bangunkan fitrah seksualitasnya sebagai laki2.
Pertanyaan berikutnya yg muncul, bagaimana tekhnis membangkitkan fitrah seksualitas ini ?
Ada beberapa tahap yg perlu kita kawal di tiap fasenya.

***
Usia 0 - 2 tahun
Pada usia ini anak harus dekat dengan bundanya.
Pendidikan tauhid pertama adalah menyusui anak sampai 2 tahun.
Menyusui, bukan memberi asi.
Langsung disusui tanpa pumping dan tanpa disambi pegang hp.

***
Usia 3 - 6 tahun
Pada usia ini anak harus dekat dengan kedua orang tuanya.
Dekat dengan bundanya, juga dekat dengan ayahnya.
Perbanyak aktivitas bersama.

***
Usia 7 - 10 tahun
Pada usia ini dekatkan anak sesuai gendernya.
Jika anak laki2, maka dekatkan dengan ayahnya.
Ajak anak beraktifitas yg menonjolkan sisi ke-maskulin-annya.
Nyuci motor, akrab dg alat2 pertukangan, dsb.
Jika anak perempuan , maka dekatkan dengan bundanya.
Libatkan anak dalam aktifitas yg menonjolkan ke-feminin-annya.
Stop katering dan banyak utak atik di dapur bersama anak, melibatkan saat bersih2 rumah, menjahit dsb.

***
Usia 11 - 14 tahun
Usia ini sudah masuk tahap pre aqil baligh akhir dan pada usia ini mulailah switch/menukar kedekatan.
Lintas gender.
Jika anak laki2, maka dekatkan pada bundanya.
Jika anak perempuan, maka dekatkan pada ayahnya.

*
Ada sebuah riset yg menunjukkan jika seorang anak perempuan tidak dekat dengan ayahnya pada fase ini maka data menunjukkan anak tsb 6x lebih rentan akan ditiduri oleh laki2 lain.
Di sebuah artikel parenting, dulu saya juga menemukan hal senada.

Jika tdk dekat dg ayahnya, maka anak perempuan akan mudah terpikat dengan laki2 yg menawarkan perhatian dan cinta meski hanya untuk kepuasan dan mengambil keuntungan semata.
Logis juga sih.

Saat ada laki2 yg memuji kecantikannya, mungkin ananda gak gampang silau krn ada ayahnya yg lebih sering memujinya.
Kalau ada laki2 yg memberikan hadiah, ananda tak akan gampang klepek2 krn ada ayahnya yg lbh dulu mencurahkan perhatian dan memberi hadiah.
Pada fase ini jika anak perempuan harus dekat dg ayahnya, maka sebaliknya, anak laki2 harus dekat dengan bundanya.

Efek yg sangat mungkin muncul jika tahap ini terlewat, maka anak laki2 punya potensi lebih besar untuk jadi suami yg kasar, playboy, dan tidak memahami perempuan.
Ada yang tanya, lho kalau ortunya bercerai atau LDR bagaimana?

Hadirkan sosok lain sesuai gender yg dibutuhkan.
Misal saat ia tak punya ayah, maka cari laki2 lain yg bs menjadi sosok ayah pengganti.
Bisa kakek, atau paman.
Sama dengan rasulullah.
Meskipun tak punya ayah dan ibu, tapi rasulullah tak pernah kehilangan sosok ayah dan ibu.
Ada kakek dan pamannya.
Ada nenek, bibi dan ibu susunya.

***
Fase berikutnya setelah 14 thn bagaimana? Sudah tuntas. Krn jumhur ulama sepakat usia 15 thn adalah usia aqil baligh
Artinya anak kita sudah "bukan" anak kita lagi.
Ia telah menjelma menjadi orang lain yg sepadan dengan kita.

Maka fokus dan bersabarlah mendampingi anak2, karna kita hanya punya waktu 14thn saja.
Saling mengingatkan, saling menguatkan, saling mendoakan ya teman2.

Moga allah mampukan dan bisa mempertanggungjawabkan amanah ini kelak di hari penghitungan..
Selamat berkumpul dan merajut cinta bersama keluarga.
Apapun keadaannya, jangan lupa bersyukur dan bahagia.

Semoga bermanfaat
Dapat copas dr teman

Penulis : euis kurniawati

Silahkan kalau mau dishare 😊

Aliza Nasywa